Halo halo…
Lagi pingin cerita (karena ditanyain temen) tentang pengalaman saya saat berburu lowongan PhD beberapa tahun lalu. Ceritanya cukup berliku, tapi saya coba untuk menceritakan secara garis besar, termasuk ‘senjata’ yang perlu dipersiapkan untuk teman-teman yang berencana melanjutkan studi doctoral di luar negeri.
Jenjang studi doktoral adalah kualifikasi pendidikan tertingi di universitas. Di Indonesia kita sering menyebutnya S3. Di luar negeri disebut juga Ph.D atau Doctor of Philosophy. Di dunia akademik, PhD dan doctoral degree adalah istilah yang berarti sama, walaupun sebenernya sedikit berbeda. Doctoral degree adalah kualifikasi akademik tertinggi, dan PhD adalah salah satu degree yang masuk dalam kategori doctoral degree (sebagai contoh ada juga Ed.D atau Doctorate of Education).
Perjalanan PhD ini paling tidak memakan waktu sekitar 3 tahun (misalnya di bidang tertentu di beberapa universitas di Inggris, New Zealand atau Australia), yang paling umum sekitar 3.5 hingga 4 tahun (dan bisa lebih). Dalam prosesnya, dibutuhkan kerja keras dan ketekunan untuk melatih kita berfikir secara kritis. Makanya, kadang saya sendiri sering mendengar istilah “PhD training” atau “PhD jouney”, sebuah perjalanan yang melatih kita untuk berfikir kritis dalam memberikan solusi teknis ataupun konseptual. Jalannya cukup panjang, berliku (kadang berkerikil) sehingga dibutuhkan tekad yang kuat untuk sampai di garis finish. Apalagi untuk tinggal di luar negeri dengan lingkungan sosial budaya yang jauh berbeda dengan tempat asal kita. So, pertama, bulatkan tekat dan luruskan niat. Selanjutnya, persiapkan senjatanya untuk maju ke pra-PhDlife.
Nah, berikut ini beberapa hal teknis
yang bisa kita lakukan jika berencana malanjutkan studi doktoral di luar
negeri.
1. Mencari calon supervisor dan
lowongan PhD sesuai minat
Sebelum memulai perjalanan PhD, biasanya kita sudah
mengantongi ijazah undergraduate (sarjana) dan master (walaupun, kita juga bisa
melanjutkan PhD tanpa melewati master – program tertentu). Atau bahkan sudah
bekerja dan menggeluti bidang tertentu. Dari situ kita biasanya sudah mempunyai
gambaran tentang bidang apa yang kita inginkan untuk melanjutkan PhD.
Untuk sebagian besar universitas di Eropa (atau Australia
dan New Zealand), menganjurkan bahkan mengharuskan kita untuk mempunyai
pembimbing (supervisor/promotor/professor), sebelum mendaftar di program
doktoral. Untuk mendapatkan pembimbing ini, kita harus melakukan pencarian
calon supervisor terlebih dahulu.
Menurut pengalaman saya, langkah pertama adalah membuat list
univesitas/institut yang memiliki pakar dibidang yang kita minati. Cara taunya
gimana kampus itu punya pakar/jurusan yang kita inginkan? Simplenya, cukup
googling bidang yang diinginkan. Kemudian bikin list, misalnya (a) nama kampus
(b) jurusan (c)nama professor (d) topik riset dan bidang yang ditekuni, dst.
Dari website universitas, kita bisa mencari nama
departemen/jurusan sesuai bidang minat kita. Dari situ, kita biasanya dengan
mudah menemukin list akademisi beserta topik riset atau bidang yang ditekuni.
Untuk PhD sendiri, bidangnya sangat spesifik, jadi mencari supervisor dengan
subjek tertentu mungkin akan lebih relevan daripada mencari berdasarkan nama
department (walaupun kadang nama departemen juga akan membantu proses pencarian
kita).
Jadi dari list universitas/departemen diatas, kita bisa
mengerucutkan menjadi “List calon supervisor”. Kalau sudah punya list, kita
bisa cek secara berkala di website calon supervisor tersebut, biasanya juga
dicantumkan jika beliau sedang membuka lowongan untuk PhD project.
Selain cara diatas, bisa juga langsung googling lowongan PhD
disubjek tertentu, misalnya “PhD vacancy in biomaterial engineering” , ganti
kata kunci jika tidak menemukan dan cari bidang yang serumpun. Jika hari ini
belum ketemu, besoknya ulangi lagi. Kalo bulan ini belum dapat, bulan depan
ulangi lagi. Jangan cepat menyerah!
Oh iya FYI, di beberapa negara di Eropa PhD dianggap
suatu pekerjaan jadi akan lebih mudah dengan kata kunci “PhD vacancy”, “PhD
position”, “PhD fellowship” walaupun bisa juga menggunakan kata kunci “PhD
scholarship” (PhD scholarship biasanya lebih ke ‘funding’ untuk PhD). Dengan
cara searching seperti ini, pilihan akan lebih luas, karena kita tidak hanya
mencari di universitas, tapi juga memasukkan riset institut dalam mencari calon
supervisor dan PhD position.
=========*pengalaman saya,
saya buka website universitas dari negara tujuan saya satu persatu, iyah, satu
per satu, dari berbagai negara. Saya juga sering googling dengan puluhan kata
kunci - Jangan tanya berapa lama waktu yang saya habiskan untuk proses
pencarian supervisor ini* ========
Bisa juga kita bertanya ke teman-teman seprofesi, tentang
lowongan PhD dengan subjek yang spesifik. Bisa juga kita membidik
kampus/institut dari scientific paper yang kita baca, cari
saja website afiliasi authornya (dari situ biasanya juga bisa lihat jika sedang
ada lowongan PhD). Cara lain yang bisa dipakai yaitu, saat kita ikut
seminar/workshop/conference, kita bisa secara langsung bertemu dengan calon
pembimbing dan menanyakan langsung tentang lowongan PhD. Cara lainnya, bisa
melihat di sosial media akun Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dari negara yang
diinginkan, biasanya akun PPI ini share lowongan beasiswa. Siapa tau berjodoh,
ada lowongan S3 untuk bidang yang kita minati.
Dari list calon supervisor yang sudah kita kantongi, kita
bisa mengerucutkan pilihan. Langkah selanjutnya adalah menghubungi calon
supervisor.
2. Menghubungi supervisor
Jika kita sudah menemukan lowongan PhD dibidang yang kita
inginkan, kita bisa langsung menghubungi calon supervisor. Biasanya Professor
di Universitas. Siapkan beberapa calon ya, karena belum tentu supervisor yang
kita hubungi akan merespon email kita. Biar ga patah hati amat kalo surat kita
tak terbalas (ahaaahaaa…)
Nah, sebelum menghubungi supervisor, kita butuh senjata
pertama, yaitu Curriculum Vitae.
a.
CV
Siapkan CV seringkas mungkin, namun tetap menarik, contohnya
menunjukkan ‘highlight’ skill dan pengalaman kita (yang paling relevan untuk
posisi tersebut). Saya sendiri hanya mencantumkan riwayat
pendidikan, pengalaman kerja, scientific experiences (termasuk publikasi dan
topik riset sebelumnya), dan beberapa skill yang mungkin akan dipertimbangkan.
b.
Email
Sebelum mengirim email sebaiknya kita membuat draft terlebih
dahulu, memastikan kita menggunakan Bahasa Inggris yang baik (misalnya pastikan
grammarnya bener dan ga ada mis-spelling). Bisa googling beberapa contoh email
menghubungi calon supervisor (tapi ya ga copas juga dari google,π). Saat menulis email ke calon supervisor, jangan lupa
melampirkan CV yang sudah disiapkan ya…
Beberapa komponen yang sebaiknya ada antara lain (a)
Perkenalan (b) Rencana menempuh PhD dengan topik yang kita minati (c) bisa
disebutkan juga bagaimana kita mengetahui profil beliau dengan bidang yang
ditekuni (d) apakah ada PhD project yang bisa dikerjakan/apakah beliau bersedia
menjadi pembimbing.
Dari email yang kita kirim, kita bisa saja dikacangin alias
tidak dibalas. Bisa saja mendapat balasan negatif. Misalnya beliau sudah
membimbing banyak mahasiswa jadi tidak bisa membimbing kita, atau sedang tidak
ada project yang bisa dikerjakan PhD student (kedua alasan ini yang paling
umum).
=====*saya pernah dapat
balasan “Profilmu bagus, tapi sayang kualifikasi bidangnya tidak sesuai dengan
kualifikasi yang saya cari” Γ secara halus menolak maksudnya wkwkkwkwkwkwkkwwk π saya sih sudah bahagia email saya
dibales sama professor dari kampus kelas wahid di negara yang tergolong
‘makmur' di benua eropa - simple happiness haha*===== Yang paling ditunggu-tunggu adalah balasan positif,
seperti "iyah, saya punya proyek untuk dikerjakan mahasiswa PhD" atau
beliau bersedia menjadi promotor/supervisor. Proses selanjutnya biasanya adalah
proses wawancara.
c.
Wawancara
Wawancaranya biasanya lewat skype, last for 45mins to 1
hour. Seperti biasa, perkenalan dulu, dan bisa sebutkan pengalaman
professional kita. Misalnya sekolah jurusan apa, kerja dimana, minat dibidang
apa. Kemudian, jabarkan bidang yang ingin kita tekuni dan rencana PhD kita.
Biasanya, Jika beliau memiliki proyek tertentu, juga akan dijelaskan di tahapan
ini. Selanjutnya, kita tinggal menunggu email apakah kita adalah mahasiswa
terpilih untuk menjadi mahasiswa bimbingan beliau. Jika iya, kita bisa secara
formal mendaftar di universitas.
3. Mendaftar ke universitas
Untuk mendaftar di universitas/institut, caranya sangat
beragam tergantung system di universitas tersebut. Silahkan buka website
universitasnnya, dan cari di bagian admission (hahaha!). Jika ada pertanyaa,
silahkan menghubungi kontak person yang tercantum disitu. Biasanya untuk
mahasiswa dari luar negara tersebut, bisa juga mengubungi bagian “International
Office”.
Senjata selanjutnya adalah sertifikat Bahasa Inggris dan
proposal penelitian.
a. Sertifikat bahasa Inggris
Hampir semua universitas meminta persyaratan ini. Kecuali
sebelumnya kita menempuh pendidikan di negara berbahasa inggris (*ada beberapa
pengecualian yang bisa membebaskan kita dari requirement sertifikat Bahasa
Inggris). Yang paling umum adalah TOEFL (biasanya requirementnya 650) dan IELTS
(biasanya overall 6.5, minimum 6 setiap band nya).
b.
Proposal
penelitian
Selain sertifikat Bahasa Inggris, biasanya kita juga
diminta research proposal. Jika supervisor sudah menyetujui
untuk membimbing, biasanya penyusunan research proposal untuk
daftar ke universitas juga akan dibantu ===*kita
bikin sendiri gitu, trus nanti dibantu untuk koreksi, bukan dibuatin yak*====== Untuk
daftar ke universitas biasanya proposalnya pendek saja, nanti finalisasi
detailnya (sampai ke judul publikasi dan chapter dalam thesis) setelah resmi diterima. Biasanya setelah 3-6 bulan setelah melewati PhD candidacy atau bahkan setelah satu tahun, ada semacam evaluasi kita diminta presentasi
untuk qualifying exam (namanya bisa
bermacam-macam, intinya menjabarkan rencana riset selama PhD, rencana publikasi dan detail thesis).
Oh iya, selain sertifikat Bahasa inggris dan riset proposal
ini, untuk beberapa kampus biasanya meminta kita untuk mengkonversi ijazah
(transcript nilai). Jika dibutuhkan, bisa ditanyakan ke International Office.
Saya sendiri pernah mengalaminya saat daftar di Universitas di New Zealand.
Universitas meminta konversi transcript dari Lembaga yang sudah ditentukan
untuk ijasah S1 dan S2.
4. Mencari/mendaftar beasiswa
(jika diperlukan)
Biasanya PhD project yang ditawarkan oleh supervisor, juga
sudah termasuk PhD scholarship (makanya tadi disebut PhD sebagai pekerjaan).
Atau dengan PhD project tersebut, kampus bisa memberikan beasiswa atas
rekomendasi supervisor (biasanya sering disebut 'beasiswa universitas' saya
mendapat skema beasiswa seperti ini saat S2 – dan mendapat skema beasiswa
seperti ini juga untuk S3, tapi akhirnya saya memilih skema beasiswa lain untuk
S3, π). Jika PhD project kita hanya akan
membiayai project penelitian kita selama PhD dan tuition fee, namun tidak
memberikan biaya hidup bulanan, kita harus mencari ‘scholarship’ sendiri untuk
biaya hidup kita selama sekolah. Biasanya supervisor juga akan membantu
mencarikan, jadi tidak usah khawatir.
Texel, 16 November 2019
Soundtrack: On my way (Allan Walker)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar