Tema polar symposium tahun ini “Polar Under
pressure”, cakupannya cukup luas mulai ekonomi, geopolitik, perubahan iklim,
ekosistem hingga social impact. Semuanya
menarik, mungkin karena banyak boneka lucu juga di venuenya, ๐. Kebetulan juga sebagai ‘bipolar PhD researcher’
(karena study areanya sekitar Arctic dan Antarctic) dan sempat mengapung di
laut Antartic sekitar 2 bulan, jadi feelingnya dapet banget. Apalagi, mengkomunikasikan
basic science ke khalayak umum, ke stakeholder dan pemangku kebijakan, seru
banget! karena hal kecil ‘njelimet’ yang kita lakukan for the sake of science,
adalah satu entitas dengan perkembangan peradaban manusia. Antara natural dan
social science itu tidak bisa disekat-sekat dan dibedakan. Keduanya saling berhubungan,
yang satu menopang yang lain hingga terbentuklah peradaban (Hiyak, silahkan
baca the history of humankind - Yuval Harari ๐)
Beberapa
catatan menarik, antara lain:
Tourism in Antarctica
Ga cuman Arctic yang menerima wisatawan, Antartika
juga terbuka untuk ‘turis’, terutama di daerah peninsula (Antara Antartic
peninsula dan semenanjung Chile dan Argentina) dan pesisir antartika sector Atlantik.
Sebelum berangkat, turis dibekali dengan safety training oleh ‘turis operator’
(semacam travel agensi), dan para travel agency ini hanya memberlakukan ‘Environmental
impact self-regulation’ – artinya ‘kesepakatan bersama untuk menjaga lingkungan’
tidak ada dasar hukum yang kuat karena Antartika bukan milik negara manapun dan
Antartic treaty tidak membahas ini dengan detail. So far so good
(katanya), malah mereka mempunyai semacam kata mutiara “You go (to Antartica) as
tourist, you come back as ambassador”. Para operator ini mengakui bahwa selain ‘self
regulation’ masih dibutuhkan ‘legal policy’ untuk menekan ‘human footprint’ di
Antartika. Haha!
Sun never sets in Antarctic summer |
Marine litter: Identify the sources and find the
solutions
“Bumi bulat dan berputar pada porosnya” kalimat
yang cukup familiar. “Lautan tercemari sampah plastic”– juga sangat familiar. The
combination of biogeochemical processes in the ocean (i.e. wind forced surface current,
stratification, microbial degradation, etc –kalimat ini kalo dibahasa
Indonesiakan jadi kaku, sorry hehe), kenyataannya membuat sampah plastik terkonsentrasi
di titik-titik tertentu. Misalnya yang paling terkenal di ocean gyre (sirkulasi
arus laut melingkar) – dari hasil penelitian terbukti bahwa sampah plastik terkonsentrasi
di 5 ocean gyres, hasil penelitian inilah yang mendasari organisasi ‘ocean
cleanup’ untuk membersihkan laut dari macro-microplastic yang mengambang. Organisasi
ini mempunyai misi, literally ‘memungut sampah plastic di laut’. – eh tapi ini
bukan info yang kudapat dari simposium kemarin.
http://blog.nus.edu.sg/plasticworld/2016/11/02/23-the-ocean-cleanup-removing-plastics-from-the-ocean/ |
Dari simposium
kemarin ada hal serupa, ada organisasi (Clean Arctic Alliance, namanya) yang
juga bermisi sama, yaitu membersihkan laut Arctic (Greenland and Nordic Sea) dari
sampah. Metode yang mereka gunakan cukup menarik. Mereka mengajak volunteer
untuk memungut sampah disekitar Pesisir Greenland, Svalbard, Tromso (dan
beberapa tempat di polar circle lainnya). Setelah dipungut, dikategorikan,
dibuatkan database darimana sampahnya berasal. Jajaran paling atas :
(1) Fisheries,
seperti jaring ikan – no surprise
Ada ahli juga yang melakukan ‘autopsi’ terhadap jaring ikan ini, untuk
mengetahui bagaimana jaring ikan itu bisa terbuang, misalnya karena terlilit,
sobek, atau putus dari pengait utamanya.
(2) Produk lokal, seperti sarung tangan plastik, kemasan produk local,
dll.
Yang menarik lagi, jika dikategorikan lebih detail, lokal produk
kebanyakan mengarah pada ‘man product’, misalnya kemasan sampho atau deodoran untuk
pria. Jadi dari temuan itu, bisa
disimpulkan bahwa kebanyakan sampah di lautan sekitar kutub berasal dari
aktifitas penangkapan ikan (oleh bapak-bapak yang sangat memperhatikan higienitas
dirinya ๐).
Dari temuan itu dibuat beberapa solusi, misalnya:
(a) Jaring ikan bergaransi, dalam arti, pengadaan toko khusus yang menerima
(membeli) jaring ikan rusak dengan harga tinggi, jadi para fisherman tidak
serta merta merelakan jaring ikannya menghilang dilaut, mereka sebisa mungkin
membawa bangkai jaring yang rusak untuk mensubsidi pembelian jaring ikan yang
baru. Sistem ini sudah berjalan dan cukup berhasil menekan sampah jaring ikan (dampaknya
terlihat setelah 5-7 tahun sistemnya dijalankan).
(b) Produsen
diminta untuk memberikan promosi jika konsumen membawa botol/kemasan bekas
produk yang mereka pakai. Ide re-use dan re-cycle ini simple dan tidak terlalu
baru, tapi butuh usaha dari banyak pihak untuk menjalankan sistemnya, hingga
terlihat dampaknya, itupun jangka panjang. Progam dari organisasi ini masih berjalan
sampai sekarang, yang mau ke Arctic polar circle gratis, silahkan mendaftar
jadi pemungut sampah di Greenland and Nordic coastland, haha!
Whales communication
Topik dibuka oleh perwakilan WWF yang behubungan
dengan konservasi wildlife di daerah kutub. Salah satu informasi yang kutangkap, WWF sedang memperjuangkan
satu poin tentang pembatasan kapal selam dan kapal yang mengeluarkan sonar
untuk berlayar di daerah kutub. Karena gelombang suara dari kapal bisa jadi polusi
suara yang bisa membunuh hewan-hewan laut yang berkomunikasi dengan
mengeluarkan suara dipanjang gelombang tersebut.
Topik ini sangat menarik buatku, alasannya
karena aku baru sadar kalau di film Finding Nemo ada hiu temannya Dori yang
nada bicaranya aneh, dan ternyata, emang begitu caranya hiu berkomunikasi. Saat mengapung di Antartika, ada yang namanya science talk 3X dalam 1 minggu.
Topik presentasinya berbagai macam tergantung background scientist-nya. Ada salah
satu master student, yang topik risetnya tentang accoustic mooring. Singkatnya,
dia menganalisa data suara dari sensor yang ‘ditanam’ dibawah laut, itu suara
dari makluk laut jenis apa, dari data itu kita bisa dapat informasi tentang ‘kepadatan
penduduk’ dibawah laut. Misalnya ada berapa banyak hiu, anjing laut, dolphin, dll
di daerah itu dalam rentang waktu tertentu (bahkan bisa sampai ke spesiesnya
bisa diindentifikasi, lho! Karena tiap spesies berkomunikasi dengan cara
mengeluarkan suara dipanjang gelombang tertentu). Jika semua data digabungkan, kita
bisa mengetahui pola migrasi dari hewan-hewan bawah laut. Seru khan ya!
Science Talk #Day49 |
Extreme climate change scenarios
Serunya di topik ini, Belanda sebagai negara dengan
daratan dibawah permukaan laut, mereka sangat menyadari bahaya kenaikan tinggi
air laut akibat pemanasa global. Pemerintah Belanda yang diwakili ‘delta
commission’, mengeluarkan ‘water policy’ menyiapkan beberapa scenario, dan
sudah berjaga-jaga dari sekarang. Contoh nyata, meninggikan bendungan di
daerah-daerah yang rentan terendam jika air laut naik. Di Rotterdam, salah satu
kota pelabukan di Belanda, ada semacam ‘pintu air’ raksasa yang bisa dibuka dan ditutup, the
Maeslantkerin, yang dipersiapkan untuk menanggulangi saat air laut naik. Dari perwakilan
delta commission ini, dijelaskan beberapa scenario ‘bagaimana jika air laut
naik 1 m (atau >5m, atau bahkan 10m), pintu ini harus dibuka berapa kali
dalam setahun’. Selain itu dijelaskan juga ada beberapa strategi lain untuk
kenaikan air laut dengan tinggi yang berbeda. Paling ektrim, membiarkan air menggenangi
beberapa delta dan menyelamatkan kota-kota vital, kemudian, mengoptimalisasikan
transportasi air. Pemerintah dan warganya seakan sudah siap menyambut banjir, mereka
sudah menyiapkan diri dengan scenario terburuk, dari sekarang! Apakabar Jakarta
yang kabarnya ‘sinking’? ☹
https://www.nytimes.com/interactive/2017/06/15/world/europe/climate-change-rotterdam.html |
Polar research:
Ultraclean-CTD, the goddess trace metal sampling gear ๐ |
Polar jaket dan sepatu boot (namanya moon boot, khusus dipake di daerah kutub), semuanya dapat dari pinjam |
Hari terakhir di Polarstern:
Last Day!! |
Filtration membrane as a photo-frame :) |
Hop on to the water taxi in Punta Arenas, Chile |
Terima kasih Polarstern, sudah menjadi rumah yang hangat selama di Antartika |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar