Sabtu, 23 November 2019

Polar symposium - Ngobrolin kutub, yuks!





Tema polar symposium tahun ini “Polar Under pressure”, cakupannya cukup luas mulai ekonomi, geopolitik, perubahan iklim, ekosistem hingga social impact.  Semuanya menarik, mungkin karena banyak boneka lucu juga di venuenya, ๐Ÿ˜Š.  Kebetulan juga sebagai ‘bipolar PhD researcher’ (karena study areanya sekitar Arctic dan Antarctic) dan sempat mengapung di laut Antartic sekitar 2 bulan, jadi feelingnya dapet banget. Apalagi, mengkomunikasikan basic science ke khalayak umum, ke stakeholder dan pemangku kebijakan, seru banget! karena hal kecil ‘njelimet’ yang kita lakukan for the sake of science, adalah satu entitas dengan perkembangan peradaban manusia. Antara natural dan social science itu tidak bisa disekat-sekat dan dibedakan. Keduanya saling berhubungan, yang satu menopang yang lain hingga terbentuklah peradaban (Hiyak, silahkan baca the history of humankind - Yuval Harari ๐Ÿ˜Š)


Beberapa catatan menarik, antara lain:

Tourism in Antarctica

Ga cuman Arctic yang menerima wisatawan, Antartika juga terbuka untuk ‘turis’, terutama di daerah peninsula (Antara Antartic peninsula dan semenanjung Chile dan Argentina) dan pesisir antartika sector Atlantik. Sebelum berangkat, turis dibekali dengan safety training oleh ‘turis operator’ (semacam travel agensi), dan para travel agency ini hanya memberlakukan ‘Environmental impact self-regulation’ – artinya ‘kesepakatan bersama untuk menjaga lingkungan’ tidak ada dasar hukum yang kuat karena Antartika bukan milik negara manapun dan Antartic treaty tidak membahas ini dengan detail. So far so good (katanya), malah mereka mempunyai semacam kata mutiara “You go (to Antartica) as tourist, you come back as ambassador”. Para operator ini mengakui bahwa selain ‘self regulation’ masih dibutuhkan ‘legal policy’ untuk menekan ‘human footprint’ di Antartika. Haha!
Sun never sets in Antarctic summer


Marine litter: Identify the sources and find the solutions

“Bumi bulat dan berputar pada porosnya” kalimat yang cukup familiar. “Lautan tercemari sampah plastic”– juga sangat familiar. The combination of biogeochemical processes in the ocean (i.e. wind forced surface current, stratification, microbial degradation, etc –kalimat ini kalo dibahasa Indonesiakan jadi kaku, sorry hehe), kenyataannya membuat sampah plastik terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Misalnya yang paling terkenal di ocean gyre (sirkulasi arus laut melingkar) – dari hasil penelitian terbukti bahwa sampah plastik terkonsentrasi di 5 ocean gyres, hasil penelitian inilah yang mendasari organisasi ‘ocean cleanup’ untuk membersihkan laut dari macro-microplastic yang mengambang. Organisasi ini mempunyai misi, literally ‘memungut sampah plastic di laut’. – eh tapi ini bukan info yang kudapat dari simposium kemarin.
http://blog.nus.edu.sg/plasticworld/2016/11/02/23-the-ocean-cleanup-removing-plastics-from-the-ocean/
Dari simposium kemarin ada hal serupa, ada organisasi (Clean Arctic Alliance, namanya) yang juga bermisi sama, yaitu membersihkan laut Arctic (Greenland and Nordic Sea) dari sampah. Metode yang mereka gunakan cukup menarik. Mereka mengajak volunteer untuk memungut sampah disekitar Pesisir Greenland, Svalbard, Tromso (dan beberapa tempat di polar circle lainnya). Setelah dipungut, dikategorikan, dibuatkan database darimana sampahnya berasal. Jajaran paling atas : 

(1) Fisheries, seperti jaring ikan – no surprise
Ada ahli juga yang  melakukan ‘autopsi’ terhadap jaring ikan ini, untuk mengetahui bagaimana jaring ikan itu bisa terbuang, misalnya karena terlilit, sobek, atau putus dari pengait utamanya.

(2) Produk lokal, seperti sarung tangan plastik, kemasan produk local, dll. 
Yang menarik lagi, jika dikategorikan lebih detail, lokal produk kebanyakan mengarah pada ‘man product’, misalnya kemasan sampho atau deodoran untuk pria.  Jadi dari temuan itu, bisa disimpulkan bahwa kebanyakan sampah di lautan sekitar kutub berasal dari aktifitas penangkapan ikan (oleh bapak-bapak yang sangat memperhatikan higienitas dirinya ๐Ÿ˜Š).  

Dari temuan itu dibuat beberapa solusi, misalnya: 

(a) Jaring ikan bergaransi, dalam arti, pengadaan toko khusus yang menerima (membeli) jaring ikan rusak dengan harga tinggi, jadi para fisherman tidak serta merta merelakan jaring ikannya menghilang dilaut, mereka sebisa mungkin membawa bangkai jaring yang rusak untuk mensubsidi pembelian jaring ikan yang baru. Sistem ini sudah berjalan dan cukup berhasil menekan sampah jaring ikan (dampaknya terlihat setelah 5-7 tahun sistemnya dijalankan).

(b) Produsen diminta untuk memberikan promosi jika konsumen membawa botol/kemasan bekas produk yang mereka pakai. Ide re-use dan re-cycle ini simple dan tidak terlalu baru, tapi butuh usaha dari banyak pihak untuk menjalankan sistemnya, hingga terlihat dampaknya, itupun jangka panjang. Progam dari organisasi ini masih berjalan sampai sekarang, yang mau ke Arctic polar circle gratis, silahkan mendaftar jadi pemungut sampah di Greenland and Nordic coastland, haha!


Whales communication

Topik dibuka oleh perwakilan WWF yang behubungan dengan konservasi wildlife di daerah kutub. Salah satu informasi  yang kutangkap, WWF sedang memperjuangkan satu poin tentang pembatasan kapal selam dan kapal yang mengeluarkan sonar untuk berlayar di daerah kutub. Karena gelombang suara dari kapal bisa jadi polusi suara yang bisa membunuh hewan-hewan laut yang berkomunikasi dengan mengeluarkan suara dipanjang gelombang tersebut.

Topik ini sangat menarik buatku, alasannya karena aku baru sadar kalau di film Finding Nemo ada hiu temannya Dori yang nada bicaranya aneh, dan ternyata, emang begitu caranya hiu berkomunikasi. Saat mengapung di Antartika, ada yang namanya science talk 3X dalam 1 minggu. Topik presentasinya berbagai macam tergantung background scientist-nya. Ada salah satu master student, yang topik risetnya tentang accoustic mooring. Singkatnya, dia menganalisa data suara dari sensor yang ‘ditanam’ dibawah laut, itu suara dari makluk laut jenis apa, dari data itu kita bisa dapat informasi tentang ‘kepadatan penduduk’ dibawah laut. Misalnya ada berapa banyak hiu, anjing laut, dolphin, dll di daerah itu dalam rentang waktu tertentu (bahkan bisa sampai ke spesiesnya bisa diindentifikasi, lho! Karena tiap spesies berkomunikasi dengan cara mengeluarkan suara dipanjang gelombang tertentu). Jika semua data digabungkan, kita bisa mengetahui pola migrasi dari hewan-hewan bawah laut. Seru khan ya!
Science Talk #Day49

Extreme climate change scenarios

Serunya di topik ini, Belanda sebagai negara dengan daratan dibawah permukaan laut, mereka sangat menyadari bahaya kenaikan tinggi air laut akibat pemanasa global. Pemerintah Belanda yang diwakili ‘delta commission’, mengeluarkan ‘water policy’ menyiapkan beberapa scenario, dan sudah berjaga-jaga dari sekarang. Contoh nyata, meninggikan bendungan di daerah-daerah yang rentan terendam jika air laut naik. Di Rotterdam, salah satu kota pelabukan di Belanda, ada semacam ‘pintu air’ raksasa yang bisa dibuka dan ditutup, the Maeslantkerin, yang dipersiapkan untuk menanggulangi saat air laut naik. Dari perwakilan delta commission ini, dijelaskan beberapa scenario ‘bagaimana jika air laut naik 1 m (atau >5m, atau bahkan 10m), pintu ini harus dibuka berapa kali dalam setahun’. Selain itu dijelaskan juga ada beberapa strategi lain untuk kenaikan air laut dengan tinggi yang berbeda. Paling ektrim, membiarkan air menggenangi beberapa delta dan menyelamatkan kota-kota vital, kemudian, mengoptimalisasikan transportasi air. Pemerintah dan warganya seakan sudah siap menyambut banjir, mereka sudah menyiapkan diri dengan scenario terburuk, dari sekarang! Apakabar Jakarta yang kabarnya ‘sinking’?

https://www.nytimes.com/interactive/2017/06/15/world/europe/climate-change-rotterdam.html
Koleksi foto dari simposium kemarin:






Polar research:

Ultraclean-CTD, the goddess trace metal sampling gear ๐Ÿ˜Š  


Polar jaket dan sepatu boot (namanya moon boot, khusus dipake di daerah kutub), semuanya dapat dari pinjam



Hari terakhir di Polarstern:

farewell dinner

Last Day!!

Filtration membrane as a photo-frame :)

Hop on to the water taxi in Punta Arenas, Chile

Terima kasih Polarstern, sudah menjadi rumah yang hangat selama di Antartika



Tidak ada komentar: