Minggu, 10 Mei 2020

Scientific writing 101 – for first-timer

Memulai menulis ilmiah - untuk pemula

***sebuah catatan pribadi
Beberapa hari yang lalu, salah satu teman sesama PhD mengirim draft introduction section, bagian dari manuscript pertama dia dari project PhD-nya. Awalnya, saya hanya ingin baca dan tidak bermaksud memberi ‘komentar’ , karena saya tau tulisan itu masih draft. Artinya, masih berupa ide dasar. Terlebih, bagian introduction kemungkinan besar akan dirombak lagi, menyesuaikan alur pembahasan dan sangat tergantung pada results section –  data yang mana yang ingin di ‘highlight’.
Setelah saya baca hingga selesai. Informasi yang diberikan sangat acak, tidak ada alur cerita yang menyeluruh. Saya maklum, “ah cuman draft ini, biarin ajah”. Tapi kemudian saya ingat diri saya sendiri saat menulis paper PhD pertama saya – I have no idea where to go, I have no idea what to write, I have no clue which direction I have to take – all I have just a blank page for several hours.
Saya coba berbagai macam hal: bikin coretan dikertas ala – ala ‘mind mapping’, bikin berbagai macam (jenis) plot dari data yang saya punya, nge-baca paper ini itu (yang sudah saya rangkum sedemikian rupa mulai awal masa PhD), ngobrol sama supervisors (yang ujung-ujungnya dikasih bejibun bahan bacaan lagi), ngopi dikantin mencari inspirasi, dan lainnya dan sebagainya - It takes sometimes, until I short it out – saya harus ‘memulai menulis’ dari mana…
Inget kejadian itu, saya akhirnya membuat poin – poin untuk membantu teman saya: mau dibawa kemana bagian introduction ini. Tentunya berdasarkan ide yang sudah dia tulis. Cuman jalan ceritanya dirunutkan.
Kemudian, saya juga memutuskan untuk mencatat - bagaimana pada akhirnya saya melangkah dari enggak tau ‘gimana memulainya’ di paper pertama, hingga marathon nulis. Katanya “The first step is always the hardest” – sepertinya memang begitu. Tapi enggak 100% benar juga, first timer-pun kalo ada ilmunya dan tau caranya pasti akan lebih mudah.
Tulisan ini hanya sebuah catatan pribadi, sebuang ringkasan dari pengalaman pribadi saya dalam mencoba berbagai macam cara untuk ‘memulai menulis’. Tujuan didokumentasikan seperti ini untuk membantu saya dimasa depan  bagaimana cara ‘memulai menulis’ – dan untuk siapa saja yg membaca tulisan ini, semisal ingin mencoba cara serupa biar lebih mudah untuk ‘memulai menulis’.
ð  Note: tulisan ilmiah saya berdasarkan penelitian kuantitatif dalam ilmu alam (bukan social science) – jadi mungkin agak berbeda pendekatannya dengan peneliatian kualitatif atau campuran dalam ilmu social. Pun, juga akan berbeda jika menulis dalam bentuk review paper.

Where to start writing? 

Sebenernya ga ada aturan khusus harus dimulai darimana, tapi menurut pengalaman saya agar lebih mudah dan lebih terstruktur kita bikin semacam ‘template’ atau kerangka, seperti outline. Langkah – Langkah selanjutnya bisa mengikuti. Template ini berfungsi sebagai ‘lemari/rak’ untuk menaruh barang. Kalau kita udah punya lemari penyimpanan, kita sudah punya tempat untuk menaruh ‘ide’ jika seawaktu-waktu idenya spontan berdatangan. 
1.    Kerangka outline (template)
Ga usah terlalu detail. Cukup tulis bagian umum yang biasanya dibutuhkan untuk manuscript/skripsi/thesis/disertasi. Contoh:
Judul
abstract
1)    Introduction
2)    Material and methods
3)    Results
4)    Discussions
5)    Conclusions  
     references
Ada juga yang lebih suka nulis ‘results and discussion’ jadi satu section. Boleh saja, terserah – yang penting ‘lemari’nya udah ada dan bisa ditambahkan/dikurangi sambil jalan. Masukkan informasi yang sudah ada missal nama – nama co-authors, institusinya dll. Bagian Judul, abstract dan conclusion – biasanya ditulis diakhir, setelah semuanya selesai. Demi keindahan/kerapian template, dimasukkan ajah. Kalau mau lebih rapi jali, bisa di-link-kan sama opsi heading di ms.word. Nantinya juga akan lebih mudah berpindah-pindah dari satu section ke section lainnya, kalau tulisannya udah berlembar-lembar. hahaa
2.    Tulis bagian yang paling mudah terlebih dahulu
Ini tips dan trik yang paling umum diberikan, dan karena ukuran ‘mudah’ itu relative tergantung orangnya. Jadi mari kita ganti jadi “tulis bagian yang sudah pasti ada”, yaitu material and methods. Terkadang, bagian ini bisa ditulis saat pengambilan data sedang dilakukan. Misalnya bagian metode, tinggal menulis ajah apa yang sudah kita lakukan. Nanti tinggal ‘dipoles’ kalimatnya. Alat dan bahan juga begitu, khan udah ditentukan kita pakai alat apa ajah, dan bahan apa ajah.
Menurut saya pribadi (dan kebanyakan orang), bagian ini adalah bagian yang paling mudah untuk ditulis terlebih dahulu.
3.    Membuat figure/grafik/gambar
Biasanya kalau penelitiannya kuantitatif kita sudah punya database berisi data/parameter apa saya yang kita punya. Kalau belum punya bikin dulu, kumpulin semua data/parameter di satu file – kalau berupa angka biasanya bisa ditaruh di ms.excel (atau sebayanya). Kemudian, kita bisa mulai membuat grafik/figure dari data ini.
Tujuan utama membuat figure adalah untuk memvisualisasikan data, membantu pembaca untuk memahami data kita dan membantu pembaca mengikuti alur penjelasan kita.
Untuk first timer, biasanya bingung mau bikin figure/grafik yang seperti apa karena ga tau juga mengintrepetasikan datanya darimana. 😅 Nah, cara yang paling mudah itu liat publikasi yang sudah ada, istilah kasarnya ‘nyontek’. Tapi biasanya kita ga akan bisa serta - merta menyontek sama persis begitu, karena banyak faktor.
-       Misal, di publikasi itu datanya well-correlated, jadi tinggal bikin grafik X-Y trus dikasih regresi udah bagus. Tapi pas kita coba dengan data kita, kacaunya minta ampun 😝
-       Contoh lagi, ada publikasi kasih gambar perbesaran mikroskop xx-micron misalnya. Bagus gitu gambarnya terlihat jelas. Setelah kita tiru, gambar mikroskop milik kita diperbesar sampe xx-micron, hasilnya teranyta yang ada malah titik-titik doank 😜  
Jadi istilah ‘nyontek’ itu tidak tepat, bisa kita ganti dengan ‘melihat referensi’. Dari referensi ini, kita jadi punya gambaran bagaimana cara menyajikan data kita. Kemudian coba bikin ajah mirip - mirip di referensi, nanti bisa dipilih mana yang bisa dipakai. Ga usah bagus-bagus, yang penting bisa membantu kita dalam mengintrepretasikan data kita.
Kembali ke tujuan awal membuat grafik/figure, sebagai alat untuk memvisualisasikan hasil penelitian, untuk membantu kita menjelaskan atau untuk membantu orang lain memahami apa yang kita lakukan/apa yang kita temukan. Jadi figure ini juga bisa berupa gambar-gambar. Misalnya 1) peta study area, 2) experiment setup, 3) hasil perbesaran mikroskop, 4) contoh signal hasil pengukuran, dll – apapun yang bisa membantu pembaca memahami  ‘cerita’ kita. Kumpulin dah semuanya.💪
4.    Memilih 4 - 6 figure sebagai figure utama
Nah bagian ini mulai susah, harus mulai mikir à Figure yang manakah yang akan mendukung cerita saya?
Biasanya saya kumpulkan semua figure di powerpoint (atau sebayanya). Dalam 1 slide ada 1 gambar/figure. Bisa juga, dalam 1 slide ada 4 gambar/grafik, jika memang gambarnya ‘bersaudara’ atau saling berkaitan. Jadi nanti bisa dijadikan satu figure, misal figure 1A, 1B, 1C dan 1D.
Kenapa dikumpulin di powerpoint?
Dari semua figure yang saya kumpulkan dalam slide, saya pilih 4 – 6 slide sebagai figure utama. Selebihnya, tidak saya hapus dan tetap berada di slide di file yang sama, cuman saya taruh bawah ajah. Siapa tau nanti butuh. Atau bisa juga dalam perjalanan menulis, ternyata figure yang kita pilih sudah tidak relevan dengan cerita kita, bisa kita ganti dengan figure yang lain. Tinggal mindah slide nya ajah, yang ga kepake taruh bawah, yang dipake diatasin (Haha… no hapu-hapus club).  Gampang mindah-mindahin figure yang terpakai atau tidak, tanpa harus mengurangi kemudahan aksesnya jika diperlukan. Itu salah satu alasan naruh gambarnya di powerpoint.
Selain itu, di kumpulin di powerpoin supaya tidak menganggu tekst di ms. Word. Jadi di ms. Word bisa fokus dengan ‘tulisan’ – urusan layout bisa belakangan, toh tergantung jurnalnya nanti (kecuali dari awal sudah mentargetkan ke jurnal tertentu, jadi dari awal sudah harus pake template dari jurnal itu – itupun biasanya figurenya di upload sendiri tidak barengan sama textnya). Misal untuk skripsi/thesis/disertasi, bisa kita copy-paste nanti, pengaturan layout dengan gambar bisa dilakukan terakhir. Lagipula, terkadanag tuh di ms. Word suka kacau layoutnya kalo gambar dan tulisan dicampur.
5.    Menentukan alur ‘cerita’
Dari langkah 1 - 4 diatas, kita sudah punya 3 jenis file, sebut saja:
a)    Ms. Word à  untuk tulisan
b)    Excel à untuk angka
c)    Powerpoint à untuk gambar
Nah, dari powerpoint ini. Kita bisa mulai mencari ide cerita. Anggap saja, kita mau presentasi hasil penelitian kita.  Kita harus mempersiapkan 4 – 6  slide untuk membantu kita memaparkan semua hal tentang penelitian kita, mulai latar belakang, tujuan, metode, hingga hasil dan juga ‘arti’ dari hasilnya (semacam interpretasi data).
Mulai deh nyari idenya…caranya? 
👉 liat ajah terus itu semua figurenya, kira - kira poin apa yang menarik untuk dibahas. 
👉 listing the highlight points, list ajah semua dibawahnya slide itu 😉
Terutama untuk bagian results and discussion bisa dibuat poin – poin yang runit, untuk membantu mengembangkan keseluruhan isi ‘cerita’. Begitulaah….
Contoh sederhana:
(***mulai agak receh, ga usah dibaca kalo lagi ga pingin recehan)
Kita memiliki project tentang akumulasi timbal (Pb) pada organ tubuh ikan air payau. Kita ambil sampel berupa ikan dari beberapa ladang ikan air payau:
1)    tambak air payau dekat daerah industri
2)    tambak air payau dekat pelabuhan
3)    tambak dekat permukiman warga
4)    sample air masing-masing lokasi
Ada 3 jenis ikan misalnya yang kita jadikan sample. Sebelum kita analisa kadar Pb-nya, kita pisahin organnya, misal bagian insang, organ dalam, otot (dagingnya), dll.  Kemudian dianalisa (misalnya) pake Atomic adsopsion spectroscopy (AAS) atau Inductively-coupled plasma – mass spec (ICP-MS).  Udah, dapat angka khaaan…..
Slide 1 à Peta lokasi pengambilan ikan – dibuat peta sedemikian rupa untuk menggambarkan jarak pengambilan sampel dengan kondisi lingkungan (ada industry, ada pelabuhan, ada pemukiman warga ), karena kita ‘menduga’ kondisi lingkungan akan mempengaruhi tingkat akumulai (misalnya ‘hipotesis’ awal tingkat akumulasi dipengaruhi oleh asupan makanan – yg juga tergantung kondisi lingkungan).
Slide 2 à Skema analisa
Slide 3 à Kadar Pb pada tiap bagian ikan, dikelompokkan berdasarkan jenis ikan.
Slide 4 à Grafik tingkat akumulasi Pb berdasarkan jenis ikan (dihitung relative terhadap kadar Pb di air, habitat ikannya)
Dari sini kita bisa mulai merangkai kata dari ‘ide’ awal yang kita tulis di-slide. Bisa mulai menulis dari bagian results, atau discussion.


contoh skema yang bisa ditaruh di slide 2 

Misalnya:
Slide 1 à Bisa tulis di bagian method
“sample berupa ikan jenis A, B, C dengan ukuran yang hampir sama, berkisar antara 15-20 cm dengan berat 100 – 200 gram per ikan. Lokasi pengambilan sample berada kabupaten xxx (figure 1)”
Slide 3 à Semua ikan, konsentrasi paling tinggi di bagian insang. Paling tinggi di insang ikan A. Bisa ditulis di bagian results and discussion
“Secara umum, kadar Pb tertinggi terdapat pada insang ikan. Teruma untuk pada ikan jenis A, kadar Pb berkisar antara xx –xx pada bagian insang. Hal ini dapat disebabkan karena ikan jenis A makannya lewat insang ga lewat mulut (blab bla bla – refensi). Oleh sebab itu jangan makan insangnya ikan, apalagi ikan jenis A”

***begitulah seterusnya. Kapan – kapan share tentang planning draft manuscript sama me-manage literature review. Kalo share tentang writing technique, contoh recehnya harus dalam Bahasa inggris keknya ya

Sabtu, 23 November 2019

Polar symposium - Ngobrolin kutub, yuks!





Tema polar symposium tahun ini “Polar Under pressure”, cakupannya cukup luas mulai ekonomi, geopolitik, perubahan iklim, ekosistem hingga social impact.  Semuanya menarik, mungkin karena banyak boneka lucu juga di venuenya, 😊.  Kebetulan juga sebagai ‘bipolar PhD researcher’ (karena study areanya sekitar Arctic dan Antarctic) dan sempat mengapung di laut Antartic sekitar 2 bulan, jadi feelingnya dapet banget. Apalagi, mengkomunikasikan basic science ke khalayak umum, ke stakeholder dan pemangku kebijakan, seru banget! karena hal kecil ‘njelimet’ yang kita lakukan for the sake of science, adalah satu entitas dengan perkembangan peradaban manusia. Antara natural dan social science itu tidak bisa disekat-sekat dan dibedakan. Keduanya saling berhubungan, yang satu menopang yang lain hingga terbentuklah peradaban (Hiyak, silahkan baca the history of humankind - Yuval Harari 😊)


Beberapa catatan menarik, antara lain:

Tourism in Antarctica

Ga cuman Arctic yang menerima wisatawan, Antartika juga terbuka untuk ‘turis’, terutama di daerah peninsula (Antara Antartic peninsula dan semenanjung Chile dan Argentina) dan pesisir antartika sector Atlantik. Sebelum berangkat, turis dibekali dengan safety training oleh ‘turis operator’ (semacam travel agensi), dan para travel agency ini hanya memberlakukan ‘Environmental impact self-regulation’ – artinya ‘kesepakatan bersama untuk menjaga lingkungan’ tidak ada dasar hukum yang kuat karena Antartika bukan milik negara manapun dan Antartic treaty tidak membahas ini dengan detail. So far so good (katanya), malah mereka mempunyai semacam kata mutiara “You go (to Antartica) as tourist, you come back as ambassador”. Para operator ini mengakui bahwa selain ‘self regulation’ masih dibutuhkan ‘legal policy’ untuk menekan ‘human footprint’ di Antartika. Haha!
Sun never sets in Antarctic summer


Marine litter: Identify the sources and find the solutions

“Bumi bulat dan berputar pada porosnya” kalimat yang cukup familiar. “Lautan tercemari sampah plastic”– juga sangat familiar. The combination of biogeochemical processes in the ocean (i.e. wind forced surface current, stratification, microbial degradation, etc –kalimat ini kalo dibahasa Indonesiakan jadi kaku, sorry hehe), kenyataannya membuat sampah plastik terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Misalnya yang paling terkenal di ocean gyre (sirkulasi arus laut melingkar) – dari hasil penelitian terbukti bahwa sampah plastik terkonsentrasi di 5 ocean gyres, hasil penelitian inilah yang mendasari organisasi ‘ocean cleanup’ untuk membersihkan laut dari macro-microplastic yang mengambang. Organisasi ini mempunyai misi, literally ‘memungut sampah plastic di laut’. – eh tapi ini bukan info yang kudapat dari simposium kemarin.
http://blog.nus.edu.sg/plasticworld/2016/11/02/23-the-ocean-cleanup-removing-plastics-from-the-ocean/
Dari simposium kemarin ada hal serupa, ada organisasi (Clean Arctic Alliance, namanya) yang juga bermisi sama, yaitu membersihkan laut Arctic (Greenland and Nordic Sea) dari sampah. Metode yang mereka gunakan cukup menarik. Mereka mengajak volunteer untuk memungut sampah disekitar Pesisir Greenland, Svalbard, Tromso (dan beberapa tempat di polar circle lainnya). Setelah dipungut, dikategorikan, dibuatkan database darimana sampahnya berasal. Jajaran paling atas : 

(1) Fisheries, seperti jaring ikan – no surprise
Ada ahli juga yang  melakukan ‘autopsi’ terhadap jaring ikan ini, untuk mengetahui bagaimana jaring ikan itu bisa terbuang, misalnya karena terlilit, sobek, atau putus dari pengait utamanya.

(2) Produk lokal, seperti sarung tangan plastik, kemasan produk local, dll. 
Yang menarik lagi, jika dikategorikan lebih detail, lokal produk kebanyakan mengarah pada ‘man product’, misalnya kemasan sampho atau deodoran untuk pria.  Jadi dari temuan itu, bisa disimpulkan bahwa kebanyakan sampah di lautan sekitar kutub berasal dari aktifitas penangkapan ikan (oleh bapak-bapak yang sangat memperhatikan higienitas dirinya 😊).  

Dari temuan itu dibuat beberapa solusi, misalnya: 

(a) Jaring ikan bergaransi, dalam arti, pengadaan toko khusus yang menerima (membeli) jaring ikan rusak dengan harga tinggi, jadi para fisherman tidak serta merta merelakan jaring ikannya menghilang dilaut, mereka sebisa mungkin membawa bangkai jaring yang rusak untuk mensubsidi pembelian jaring ikan yang baru. Sistem ini sudah berjalan dan cukup berhasil menekan sampah jaring ikan (dampaknya terlihat setelah 5-7 tahun sistemnya dijalankan).

(b) Produsen diminta untuk memberikan promosi jika konsumen membawa botol/kemasan bekas produk yang mereka pakai. Ide re-use dan re-cycle ini simple dan tidak terlalu baru, tapi butuh usaha dari banyak pihak untuk menjalankan sistemnya, hingga terlihat dampaknya, itupun jangka panjang. Progam dari organisasi ini masih berjalan sampai sekarang, yang mau ke Arctic polar circle gratis, silahkan mendaftar jadi pemungut sampah di Greenland and Nordic coastland, haha!


Whales communication

Topik dibuka oleh perwakilan WWF yang behubungan dengan konservasi wildlife di daerah kutub. Salah satu informasi  yang kutangkap, WWF sedang memperjuangkan satu poin tentang pembatasan kapal selam dan kapal yang mengeluarkan sonar untuk berlayar di daerah kutub. Karena gelombang suara dari kapal bisa jadi polusi suara yang bisa membunuh hewan-hewan laut yang berkomunikasi dengan mengeluarkan suara dipanjang gelombang tersebut.

Topik ini sangat menarik buatku, alasannya karena aku baru sadar kalau di film Finding Nemo ada hiu temannya Dori yang nada bicaranya aneh, dan ternyata, emang begitu caranya hiu berkomunikasi. Saat mengapung di Antartika, ada yang namanya science talk 3X dalam 1 minggu. Topik presentasinya berbagai macam tergantung background scientist-nya. Ada salah satu master student, yang topik risetnya tentang accoustic mooring. Singkatnya, dia menganalisa data suara dari sensor yang ‘ditanam’ dibawah laut, itu suara dari makluk laut jenis apa, dari data itu kita bisa dapat informasi tentang ‘kepadatan penduduk’ dibawah laut. Misalnya ada berapa banyak hiu, anjing laut, dolphin, dll di daerah itu dalam rentang waktu tertentu (bahkan bisa sampai ke spesiesnya bisa diindentifikasi, lho! Karena tiap spesies berkomunikasi dengan cara mengeluarkan suara dipanjang gelombang tertentu). Jika semua data digabungkan, kita bisa mengetahui pola migrasi dari hewan-hewan bawah laut. Seru khan ya!
Science Talk #Day49

Extreme climate change scenarios

Serunya di topik ini, Belanda sebagai negara dengan daratan dibawah permukaan laut, mereka sangat menyadari bahaya kenaikan tinggi air laut akibat pemanasa global. Pemerintah Belanda yang diwakili ‘delta commission’, mengeluarkan ‘water policy’ menyiapkan beberapa scenario, dan sudah berjaga-jaga dari sekarang. Contoh nyata, meninggikan bendungan di daerah-daerah yang rentan terendam jika air laut naik. Di Rotterdam, salah satu kota pelabukan di Belanda, ada semacam ‘pintu air’ raksasa yang bisa dibuka dan ditutup, the Maeslantkerin, yang dipersiapkan untuk menanggulangi saat air laut naik. Dari perwakilan delta commission ini, dijelaskan beberapa scenario ‘bagaimana jika air laut naik 1 m (atau >5m, atau bahkan 10m), pintu ini harus dibuka berapa kali dalam setahun’. Selain itu dijelaskan juga ada beberapa strategi lain untuk kenaikan air laut dengan tinggi yang berbeda. Paling ektrim, membiarkan air menggenangi beberapa delta dan menyelamatkan kota-kota vital, kemudian, mengoptimalisasikan transportasi air. Pemerintah dan warganya seakan sudah siap menyambut banjir, mereka sudah menyiapkan diri dengan scenario terburuk, dari sekarang! Apakabar Jakarta yang kabarnya ‘sinking’?

https://www.nytimes.com/interactive/2017/06/15/world/europe/climate-change-rotterdam.html
Koleksi foto dari simposium kemarin:






Polar research:

Ultraclean-CTD, the goddess trace metal sampling gear 😊  


Polar jaket dan sepatu boot (namanya moon boot, khusus dipake di daerah kutub), semuanya dapat dari pinjam



Hari terakhir di Polarstern:

farewell dinner

Last Day!!

Filtration membrane as a photo-frame :)

Hop on to the water taxi in Punta Arenas, Chile

Terima kasih Polarstern, sudah menjadi rumah yang hangat selama di Antartika



Sabtu, 16 November 2019

Melanjutkan studi PhD di luar negeri, bagaimana caranya?

Halo halo…

Lagi pingin cerita (karena ditanyain temen) tentang pengalaman saya saat berburu lowongan PhD beberapa tahun lalu. Ceritanya cukup berliku, tapi saya coba untuk menceritakan secara garis besar, termasuk ‘senjata’ yang perlu dipersiapkan untuk teman-teman yang berencana melanjutkan studi doctoral di luar negeri.

Jenjang studi doktoral adalah kualifikasi pendidikan tertingi di universitas. Di Indonesia kita sering menyebutnya S3. Di luar negeri disebut juga Ph.D atau Doctor of Philosophy. Di dunia akademik, PhD dan doctoral degree adalah istilah yang berarti sama, walaupun sebenernya sedikit berbeda. Doctoral degree adalah kualifikasi akademik tertinggi, dan PhD adalah salah satu degree yang masuk dalam kategori doctoral degree (sebagai contoh ada juga Ed.D atau Doctorate of Education).

Perjalanan PhD ini paling tidak memakan waktu sekitar 3 tahun (misalnya di bidang tertentu di beberapa universitas di Inggris, New Zealand atau Australia), yang paling umum sekitar 3.5 hingga 4 tahun (dan bisa lebih). Dalam prosesnya, dibutuhkan kerja keras dan ketekunan untuk melatih kita berfikir secara kritis. Makanya, kadang saya sendiri sering mendengar istilah “PhD training” atau “PhD jouney”, sebuah perjalanan yang melatih kita untuk berfikir kritis dalam memberikan solusi teknis ataupun konseptual. Jalannya cukup panjang, berliku (kadang berkerikil) sehingga dibutuhkan tekad yang kuat untuk sampai di garis finish. Apalagi untuk tinggal di luar negeri dengan lingkungan sosial budaya yang jauh berbeda dengan tempat asal kita. So, pertama, bulatkan tekat dan luruskan niat. Selanjutnya, persiapkan senjatanya untuk maju ke pra-PhDlife.

Nah, berikut ini beberapa hal teknis yang bisa kita lakukan jika berencana malanjutkan studi doktoral di luar negeri.

1. Mencari calon supervisor dan lowongan PhD sesuai minat

Sebelum memulai perjalanan PhD, biasanya kita sudah mengantongi ijazah undergraduate (sarjana) dan master (walaupun, kita juga bisa melanjutkan PhD tanpa melewati master – program tertentu). Atau bahkan sudah bekerja dan menggeluti bidang tertentu. Dari situ kita biasanya sudah mempunyai gambaran tentang bidang apa yang kita inginkan untuk melanjutkan PhD.

Untuk sebagian besar universitas di Eropa (atau Australia dan New Zealand), menganjurkan bahkan mengharuskan kita untuk mempunyai pembimbing (supervisor/promotor/professor), sebelum mendaftar di program doktoral. Untuk mendapatkan pembimbing ini, kita harus melakukan pencarian calon supervisor terlebih dahulu. 

Menurut pengalaman saya, langkah pertama adalah membuat list univesitas/institut yang memiliki pakar dibidang yang kita minati. Cara taunya gimana kampus itu punya pakar/jurusan yang kita inginkan? Simplenya, cukup googling bidang yang diinginkan. Kemudian bikin list, misalnya (a) nama kampus (b) jurusan (c)nama professor (d) topik riset dan bidang yang ditekuni, dst.

Dari website universitas, kita bisa mencari nama departemen/jurusan sesuai bidang minat kita. Dari situ, kita biasanya dengan mudah menemukin list akademisi beserta topik riset atau bidang yang ditekuni. Untuk PhD sendiri, bidangnya sangat spesifik, jadi mencari supervisor dengan subjek tertentu mungkin akan lebih relevan daripada mencari berdasarkan nama department (walaupun kadang nama departemen juga akan membantu proses pencarian kita).

Jadi dari list universitas/departemen diatas, kita bisa mengerucutkan menjadi “List calon supervisor”. Kalau sudah punya list, kita bisa cek secara berkala di website calon supervisor tersebut, biasanya juga dicantumkan jika beliau sedang membuka lowongan untuk PhD project.

Selain cara diatas, bisa juga langsung googling lowongan PhD disubjek tertentu, misalnya “PhD vacancy in biomaterial engineering” , ganti kata kunci jika tidak menemukan dan cari bidang yang serumpun. Jika hari ini belum ketemu, besoknya ulangi lagi. Kalo bulan ini belum dapat, bulan depan ulangi lagi. Jangan cepat menyerah!

Oh iya FYI, di  beberapa negara di Eropa PhD dianggap suatu pekerjaan jadi akan lebih mudah dengan kata kunci “PhD vacancy”, “PhD position”, “PhD fellowship” walaupun bisa juga menggunakan kata kunci “PhD scholarship” (PhD scholarship biasanya lebih ke ‘funding’ untuk PhD). Dengan cara searching seperti ini, pilihan akan lebih luas, karena kita tidak hanya mencari di universitas, tapi juga memasukkan riset institut dalam mencari calon supervisor dan PhD position.

=========*pengalaman saya, saya buka website universitas dari negara tujuan saya satu persatu, iyah, satu per satu, dari berbagai negara. Saya juga sering googling dengan puluhan kata kunci - Jangan tanya berapa lama waktu yang saya habiskan untuk proses pencarian supervisor ini* ========

Bisa juga kita bertanya ke teman-teman seprofesi, tentang lowongan PhD dengan subjek yang spesifik. Bisa juga kita membidik kampus/institut dari scientific paper yang kita baca, cari saja website afiliasi authornya (dari situ biasanya juga bisa lihat jika sedang ada lowongan PhD). Cara lain yang bisa dipakai yaitu, saat kita ikut seminar/workshop/conference, kita bisa secara langsung bertemu dengan calon pembimbing dan menanyakan langsung tentang lowongan PhD. Cara lainnya, bisa melihat di sosial media akun Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dari negara yang diinginkan, biasanya akun PPI ini share lowongan beasiswa. Siapa tau berjodoh, ada lowongan S3 untuk bidang yang kita minati. 

Dari list calon supervisor yang sudah kita kantongi, kita bisa mengerucutkan pilihan. Langkah selanjutnya adalah menghubungi calon supervisor.

2. Menghubungi supervisor 

Jika kita sudah menemukan lowongan PhD dibidang yang kita inginkan, kita bisa langsung menghubungi calon supervisor. Biasanya Professor di Universitas. Siapkan beberapa calon ya, karena belum tentu supervisor yang kita hubungi akan merespon email kita. Biar ga patah hati amat kalo surat kita tak terbalas (ahaaahaaa…)

Nah, sebelum menghubungi supervisor, kita butuh senjata pertama, yaitu Curriculum Vitae.

a.      CV
Siapkan CV seringkas mungkin, namun tetap menarik, contohnya menunjukkan ‘highlight’ skill dan pengalaman kita (yang paling relevan untuk posisi tersebut).  Saya sendiri hanya mencantumkan riwayat pendidikan, pengalaman kerja, scientific experiences (termasuk publikasi dan topik riset sebelumnya), dan beberapa skill yang mungkin akan dipertimbangkan.

b.      Email
Sebelum mengirim email sebaiknya kita membuat draft terlebih dahulu, memastikan kita menggunakan Bahasa Inggris yang baik (misalnya pastikan grammarnya bener dan ga ada mis-spelling). Bisa googling beberapa contoh email menghubungi calon supervisor (tapi ya ga copas juga dari google,😊). Saat menulis email ke calon supervisor, jangan lupa melampirkan CV yang sudah disiapkan ya…

Beberapa komponen yang sebaiknya ada antara lain (a) Perkenalan (b) Rencana menempuh PhD dengan topik yang kita minati (c) bisa disebutkan juga bagaimana kita mengetahui profil beliau dengan bidang yang ditekuni (d) apakah ada PhD project yang bisa dikerjakan/apakah beliau bersedia menjadi pembimbing.

Dari email yang kita kirim, kita bisa saja dikacangin alias tidak dibalas. Bisa saja mendapat balasan negatif. Misalnya beliau sudah membimbing banyak mahasiswa jadi tidak bisa membimbing kita, atau sedang tidak ada project yang bisa dikerjakan PhD student (kedua alasan ini yang paling umum). 
=====*saya pernah dapat balasan “Profilmu bagus, tapi sayang kualifikasi bidangnya tidak sesuai dengan kualifikasi yang saya cari” à secara halus menolak maksudnya  wkwkkwkwkwkwkkwwk 😊 saya sih sudah bahagia email saya dibales sama professor dari kampus kelas wahid di negara yang tergolong ‘makmur' di benua eropa - simple happiness haha*===== Yang paling ditunggu-tunggu adalah balasan positif, seperti "iyah, saya punya proyek untuk dikerjakan mahasiswa PhD" atau beliau bersedia menjadi promotor/supervisor. Proses selanjutnya biasanya adalah proses wawancara.

c.       Wawancara
Wawancaranya biasanya lewat skype, last for 45mins to 1 hour. Seperti biasa, perkenalan dulu, dan bisa sebutkan pengalaman professional kita. Misalnya sekolah jurusan apa, kerja dimana, minat dibidang apa. Kemudian, jabarkan bidang yang ingin kita tekuni dan rencana PhD kita. Biasanya, Jika beliau memiliki proyek tertentu, juga akan dijelaskan di tahapan ini. Selanjutnya, kita tinggal menunggu email apakah kita adalah mahasiswa terpilih untuk menjadi mahasiswa bimbingan beliau. Jika iya, kita bisa secara formal mendaftar di universitas.

3. Mendaftar ke universitas

Untuk mendaftar di universitas/institut, caranya sangat beragam tergantung system di universitas tersebut. Silahkan buka website universitasnnya, dan cari di bagian admission (hahaha!). Jika ada pertanyaa, silahkan menghubungi kontak person yang tercantum disitu. Biasanya untuk mahasiswa dari luar negara tersebut, bisa juga mengubungi bagian “International Office”.

Senjata selanjutnya adalah sertifikat Bahasa Inggris dan proposal penelitian. 

a.     Sertifikat bahasa Inggris
Hampir semua universitas meminta persyaratan ini. Kecuali sebelumnya kita menempuh pendidikan di negara berbahasa inggris (*ada beberapa pengecualian yang bisa membebaskan kita dari requirement sertifikat Bahasa Inggris). Yang paling umum adalah TOEFL (biasanya requirementnya 650) dan IELTS (biasanya overall 6.5, minimum 6 setiap band nya).

b.     Proposal penelitian
Selain sertifikat Bahasa Inggris, biasanya kita juga diminta research proposal. Jika supervisor sudah menyetujui untuk membimbing, biasanya penyusunan research proposal untuk daftar ke universitas juga akan dibantu ===*kita bikin sendiri gitu, trus nanti dibantu untuk koreksi, bukan dibuatin yak*====== Untuk daftar ke universitas biasanya proposalnya pendek saja, nanti finalisasi detailnya (sampai ke judul publikasi dan chapter dalam thesis) setelah resmi diterima. Biasanya setelah 3-6 bulan setelah melewati PhD candidacy atau bahkan setelah satu tahun, ada semacam evaluasi kita diminta presentasi untuk qualifying exam (namanya bisa bermacam-macam, intinya menjabarkan rencana riset selama PhD, rencana publikasi dan detail thesis).

Oh iya, selain sertifikat Bahasa inggris dan riset proposal ini, untuk beberapa kampus biasanya meminta kita untuk mengkonversi ijazah (transcript nilai). Jika dibutuhkan, bisa ditanyakan ke International Office. Saya sendiri pernah mengalaminya saat daftar di Universitas di New Zealand. Universitas meminta konversi transcript dari Lembaga yang sudah ditentukan untuk ijasah S1 dan S2. 

4. Mencari/mendaftar beasiswa (jika diperlukan)

Biasanya PhD project yang ditawarkan oleh supervisor, juga sudah termasuk PhD scholarship (makanya tadi disebut PhD sebagai pekerjaan). Atau dengan PhD project tersebut, kampus bisa memberikan beasiswa atas rekomendasi supervisor (biasanya sering disebut 'beasiswa universitas' saya mendapat skema beasiswa seperti ini saat S2 – dan mendapat skema beasiswa seperti ini juga untuk S3, tapi akhirnya saya memilih skema beasiswa lain untuk S3, 😊). Jika PhD project kita hanya akan membiayai project penelitian kita selama PhD dan tuition fee, namun tidak memberikan biaya hidup bulanan, kita harus mencari ‘scholarship’ sendiri untuk biaya hidup kita selama sekolah. Biasanya supervisor juga akan membantu mencarikan, jadi tidak usah khawatir. 

Setiap universitas dari berbagai negara, memiliki sistem yang berbeda dalam setiap proses penerimaan mahasiswa doktoral. Menurut pengalaman saya, kurang lebih sepert inilah prosesnya. Jika teman-teman punya informasi terkait hal ini, bisa ditulis dikolom komentar ya…

Ini waktu tahun pertama PhD di University of Otago, New Zealand. Saat menulis ini, saya berada di tahun keempat PhD di Royal Netherland Institute for Sea Reseach (NIOZ), University of Utrecht, di Belanda (mengikuti supervisor yang pindah homebase dari New Zealand ke Belanda)




Texel, 16 November 2019
Soundtrack: On my way (Allan Walker)